Kritik
impressionis
Menggunakan
karya seni atau bangunan sebagai dasar bagi pembentukan karya keseniannya.
CANDI GUNUNG SIWA ( HINDU )
Bukit
yang menjulang di tengah persawahan itu terkesan tak istimewa. Sama seperti
bukit-bukit lain pada umumnya yang rimbun tertutup semak dan pepohonan. Suasana
di sekitarnya cenderung sepi, apalagi sebagian tempat di daerah ini juga rusak
diterjang lahar dingin Gunung Merapi 4 tahun lalu. Tak banyak yang tahu jika di
bukit itu terdapat sebuah situs bersejarah berupa candi Hindu yang diduga
sebagai yang tertua di tanah Jawa.
Di masa lampau
Pulau Jawa memang menjadi pusat kebudayaan dan peradaban paling berkembang di
Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya banyak peninggalan bersejarah
terutama candi-candi di sekitar Pulau Jawa. Puluhan candi, terutama yang
terletak di Jawa Tengah dan Jawa Timur itu kini bisa disimak berikut dengan
cerita kebesaran peradaban yang dibawanya. Namun, tak semua candi tertata
dengan baik.
Bukit Gunung
Sari di desan Gulon, Kabupaten Magelang tempat ditemukannya situs candi dengan
ribuan bebatuan unik dari masa Hindu.
Persawahan di kaki bukit Gunung Sari
Situs
candi Gunung Sari di Desa Gulon, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang ini
merupakan jejak kebesaran peradaban yang masih tersamar dan belum tertata.
Candi ini juga belum banyak dikenal. Cobalah googling nama candi ini, tak
banyak cerita yang bisa ditemukan. Sehari-hari Candi Gunung Sari hampir tak
pernah dikunjungi orang kecuali beberapa warga setempat yang singgah usai
mencari kayu bakar atau merawat kebun mereka di sekitar candi. Begitu pun saat
saya berkunjung ke tempat ini pada akhir Januari 2015 lalu, hanya ada seorang
penduduk setempat yang sehari-hari merawat candi bernama Sriyono.
Struktur besar
yang diduga merupakan candi utama di situs Gunung Sari.
Pondasi candi tersusun dari bebatuan berbentuk persegi
panjang
Selain
belum dikenal luas, Candi Gunung Sari juga “terasing” di puncak sebuah bukit
yang hijau dan penuh pepohonan. Untuk sampai ke situs Candi Gunung Sari, kita
harus berjalan menaiki bukit selama 20 menit melalui lahan yang sebagian telah
menjadi hak milik warga sekitar. Di sekeliling bukit hamparan sawah khas
pedesaan membentuk pemandangan yang manis.
Ribuan bebatuan beragam bentuk dan ukuran berserakan di situs Candi Gunung Sari.
oni yang ditemukan di tengah-tengah area candi.
Candi
Gunung Sari merupakan peninggalan zaman Hindu yang diduga berasal dari masa
abad ke-6 hingga ke-8. Itu berarti candi ini lebih tua dibandingkan Candi
Borobudur dan Prambanan. Candi Gunung Sari juga diduga sebagai bagian dari
situs candi tertua di tanah Jawa.
Candi
Gunung Sari ditemukan secara tak sengaja di tahun 1996. Namun sejak tahun
1980-an keberadaan situs bersejarah di tempat ini telah diketahui penduduk
setempat. Bebatuan candi ditemukan di puncak bukit saat hendak dibangun tower
transimisi TVRI. Pembangunan tower pun dihentikan dan ekskavasi dilakukan
hingga akhirnya ditemukan struktur candi dengan ribuan bebatuan tersebar di
berbagai lokasi. Candi Gunung Sari pun akhirnya ditetapkan sebagai cagar budaya
oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.
Struktur candi yang masih terpendam sebagian di dalam tanah.
Bagian
utama situs ini berada di puncak bukit dengan area berukuran sekitar 20 x 20 m.
Area tersebut dikelilingi pagar setinggi 1 meter dan dengan dua pintu di sisi
barat dan timur. Pohon pule (Alstonia scholaris) yang diyakini berusia ratusan
tahun tumbuh tegak dengan akar-akar besar di sisi timur.
Kondisi bebatuan candi di situs Gunung Sari belum tersusun utuh dan berserakan di sejumlah titik di puncak bukit
Ribuan
bongkah bebatuan berbagai bentuk dan ukuran terserak bertumpukan di puncak
bukit. Bentuk struktur candi belum terlihat jelas. Diperkirakan di bagian
puncak bukit ini terdapat dua struktur besar di sisi timur dan barat. Di
sekeliling struktur utama tersebut terdapat beberapa struktur kecil yang
tersusun dari beberapa batu yang ditumpuk. Tumpukan bebatuan tersebut juga
belum menunjukkan bentuk yang utuh. Namun setidaknya hal itu menunjukkan bahwa
situs Gunung Sari terdiri dari candi berukuran besar yang dikelilingi
bangunan-bangunan lain berukuran lebih kecil.
Bebatuan
candi di puncak adalah hasil penemuan dari beberapa lokasi. Hal ini diamini
oleh Sriyono yang menjelaskan bahwa selain di puncak bukit, beberapa batuan
candi masih sering ditemukan di bawah dan di jalan menuju puncak. Struktur yang
diduga gerbang utama candi diyakini juga masih terpendam beberapa meter di
dalam tanah. Di sisi selatan terlihat beberapa batuan candi yang masih
terpendam sebagian di dalam tanah. Diduga masih banyak struktur candi lainnya
yang belum tersingkap.
Struktur batu berbentuk silinder yang diduga sebagai tempat
penyimpanan abu jenazah.
Berbagai bentuk ukiran dan relief di sejumlah batu yang ditemukan di situs Candi Gunung Sari.
Selain
itu ada sebuah batu berbentuk persegi panjang berukuran besar dengan 2 lubang
di kedua ujungnya. Batu ini diduga bagian dari struktur gerbang. Bagian yang
diyakini sebagai tempat rumah arca juga ditemukan berserakan di beberapa titik.
Ada juga sebuah batu panjang yang salah satu permukaan penuh dengan ukiran
relief. Ukiran relief juga terlihat dari beberapa bebatuan yang berukuran lebih
kecil. Namun struktur bebatuan yang belum tersusun sempurna menyebabkan bentuk
relief-relief itu tidak dapat disimak secara utuh.
Berada tak sampai 1 jam dari Candi Borobudur atau di perbatasan Yogyakarta dan Magelang, situs Candi Gunung Sari saat ini membutuhkan perhatian. Penelitian dan rekonstruksi lanjutan diperlukan untuk mengungkap jejak peradaban secara lebih utuh di tempat ini. Bebatuan candi yang berserakan juga membutuhkan perawatan agar tak rusak karena pelapukan atau hilang dicuri. Strategi konservasi juga diperlukan karena situs Gunung Sari berada di daerah rawan aliran lahar dingin Gunung Merapi. Situs Candi Gunung Sari menanti sentuhan perhatian untuk dirawat dan diselamatkan.
Berada tak sampai 1 jam dari Candi Borobudur atau di perbatasan Yogyakarta dan Magelang, situs Candi Gunung Sari saat ini membutuhkan perhatian. Penelitian dan rekonstruksi lanjutan diperlukan untuk mengungkap jejak peradaban secara lebih utuh di tempat ini. Bebatuan candi yang berserakan juga membutuhkan perawatan agar tak rusak karena pelapukan atau hilang dicuri. Strategi konservasi juga diperlukan karena situs Gunung Sari berada di daerah rawan aliran lahar dingin Gunung Merapi. Situs Candi Gunung Sari menanti sentuhan perhatian untuk dirawat dan diselamatkan.
Kritik
impressionis
Menggunakan
karya seni atau bangunan sebagai dasar bagi pembentukan karya keseniannya.
CANDI SEWU
( BUDHA )
Berdasarkan Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 dan Prasasti Manjusrigrha yang berangka tahun 792 dan ditemukan pada
tahun 1960, nama asli candi ini adalah ”Prasada Vajrasana Manjusrigrha”.
Istilah Prasada bermakna candi atau kuil, sementaraVajrajasana bermakna tempat Wajra (intan atau halilintar) bertakhta, sedangkan Manjusri-grha bermakna Rumah Manjusri. Manjusriadalah salah satu Boddhisatwa dalam ajaran buddha. Candi Sewu diperkirakan
dibangun pada abad ke-8 masehi pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746–784)
adalah raja yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno.
Kompleks candi ini mungkin
dipugar, dan diperluas pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, seorang pangeran dari dinasti Sanjayayang menikahi Pramodhawardhani dari dinasti Sailendra. Setelah dinasti Sanjaya
berkuasa rakyatnya tetap menganut agama sebelumnya. Adanya candi Sewu yang
bercorak buddha berdampingan dengan candi Prambanan yang bercorak hindu
menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup secara
harmonis dan adanya toleransi beragama. Karena keagungan dan luasnya kompleks
candi ini, candi Sewu diduga merupakan Candi Buddha Kerajaan, sekaligus pusat
kegiatan agama buddha yang penting pada masa lalu. Candi ini terletak di lembah
Prambanan yang membentang dari lereng selatan gunung Merapidi utara hingga pegunungan Sewu
di selatan, di sekitar perbatasan Yogyakarta dengan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di
lembah ini tersebar candi-candi dan situs purbakala yang berjarak hanya
beberapa ratus meter satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini
merupakan kawasan penting artinya dalam sektor keagamaan, politik, dan
kehidupan urban masyarakat Jawa kuna.
Kompleks Candi Sewu,
tampak candi utama di sebelah kiri dan salah satu candipenjuru atau perwara
utama di sebelah kanan
Candi ini rusak parah akibat
gempa pada bulan Mei 2006 di Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan.
Kerusakan struktur bangunan sangat nyata dan candi utama menderita kerusakan
paling parah. Pecahan bebatuan berserakan di atas tanah, retakan dan rekahan
antar sambungan batu terlihat. Untuk mencegah keruntuhan bangunan, kerangka
besi dipasang di keempat sudut bangunan untuk menunjang dan menahan tubuh candi
utama. Meskipun situs dibuka kembali untuk pengunjung beberapa pekan kemudian
setelah gempa pada tahun 2006, seluruh bagian candi utama tetap ditutup dan
tidak boleh dimasuki demi alasan keamanan.
Kini setelah dipugar, kerangka logam penopang
candi utama telah dilepas dan pengunjung dapat memasuki ruangan dalam candi
utama.
Salah satu dari candi penjuru di Candi Sewu
Kompleks candi Sewu adalah kumpulan candi Buddha terbesar di
kawasan sekitar Prambanan, dengan bentang ukuran lahan 185 meter utara-selatan
dan 165 meter timur-barat. Pintu masuk kompleks dapat ditemukan di keempat
penjuru mata angin, tetapi mencermati susunan bangunannya, diketahui pintu
utama terletak di sisi timur. Tiap pintu masuk dikawal oleh sepasang arcaDwarapala. Arca raksasa penjaga berukuran tinggi sekitar 2,3 meter
ini dalam kondisi yang cukup baik, dan replikanya dapat ditemukan di Keraton Yogyakarta.
Aslinya terdapat 249 bangunan candi di
kompleks ini yang disusun membentuk mandala wajradhatu, perwujudan alam semesta dalam
kosmologi Buddha Mahayana. Selain satu candi utama yang terbesar, pada bentangan
poros tengah, utara-selatan dan timur-barat, pada
jarak 200 meter satu sama lain, antara baris ke-2 dan ke-3 candi Perwara (pengawal) kecil terdapat 8 Candi Penjuru, candi-candi ini
ukurannya kedua terbesar setelah candi utama. Aslinya di setiap penjuru mata
angin terdapat masing-masing sepasang candi penjuru yang saling berhadapan,
tetapi kini hanya candi penjuru kembar timur dan satu candi penjuru utara yang
masih utuh. Berdasarkan penelitian fondasi bangunan, diperkirakan hanya satu
candi penjuru di utara dan satu candi penjuru di selatan yang sempat dibangun,
keduanya menghadap timur. Itu berarti mungkin memang candi penjuru utara sisi
timur dan penjuru uselatan sisi timur memang tidak pernah (tidak sempat)
dibangun untuk melengkapi rancangan awalnya.
Dari keempat baris candi perwara ini terdapat dua junis
rancangan candi perwara; baris keempat (terluar) memiliki rancang bentuk yang
serupa dengan baris pertama (terdalam), yaitu pada bagian penampang gawang
pintunya, sedangkan baris kedua dan ketiga memiliki rancang bentuk yang lebih
tinggi dengan gawang pintu yang berbeda. Banyak patung dan ornamen yang telah
hilang dan susunannya telah berubah. Candi-candi perwara ini diisi arca-arca Dhyani Buddha. Ditemukan empat jenis Dhyani Buddha di
kompleks Candi Sewu. Arca-arca buddha yang dulu mengisi candi-candi ini mengkin serupa dengan arca buddha di Borobudur.
Candi-candi yang lebih kecil ini mengelilingi candi utama yang
paling besar tetapi beberapa bagiannya sudah tidak utuh lagi. Di balik barisan
ke-4 candi kecil terdapat pelataran beralas batu dan ditengahnya berdiri candi
utama.
Candi utama memiliki denah poligon bersudut
20 yang menyerupai salib atau silang yang berdiameter 29 meter dan tinggi bangunan
mencapai 30 meter. Pada tiap penjuru mata angin terdapat struktur bangunan yang
menjorok ke luar, masing-masing dengan tangga dan ruangan tersendiri dan
dimahkotai susunan stupa. Seluruh bangunan terbuat dari batu
andesit. Ruangan di empat penjuru mata
angin ini saling terhubungkan oleh galeri sudut berpagar langkan.
Berdasarkan temuan pada saat pemugaran,
diperkirakan rancangan awal bangunan hanya berupa candi utama berkamar tunggal.
Candi ini kemudian diperluas dengan menambahkan struktur tambahan di
sekelilingnya. Pintu dibuat untuk menghubungkan bangunan tambahan dengan candi
utama dan menciptakan bangunan candi utama dengan lima ruang. Ruangan utama di
tengah lebih besar dengan atap yang lebih tinggi, dan dapat dimasuki melalui ruang timur.
Kini tidak terdapat patung di kelima ruangan ini
Kritik
impressionis
Menggunakan
karya seni atau bangunan sebagai dasar bagi pembentukan karya keseniannya.
MESJID AGUNG DEMAK ( ISLAM )
Pada pertengahan abad ke-15 penduduk di Jawa belum banyak
yang menganut agama Islam dan kebanyakannya adalah pengikut-pengikut agama
Budha, maka oleh mubalik Islam yaitu para Wali yang sembilan itu di pikirkan
mengadakan tempat yang tetap untuk penyiaran dan penerangan agama. Pada waktu
itu surau dan langgar belum terdapat di Jawa. Para Wali yang kesembilan itu
memikirkan jalan keluar bagaimana cara menyiarkan agama Islam ke seluruh pulau
Jawa. Sedangkan masyarakat Jawa pada saat itu kebanyakan menganut agama
Hindu-Budha.
Pada suatu hari para Wali itu berkumpul membicarakan
soal-soal di sekitar penyiaran Islam dan dalam permusyawaratan itu telah di
putuskan akan mendirikan masjid di Gelagah Wangi Demak, termasuk wilayah Jawa
Tengah. Setelah para Wali ke sembilan itu memikirkan, mereka berencana untuk
membangun sebuah Masjid yang berfungsi untuk menyiarkan agama Islam di Gelagah
Wangi dan Masjid tersebut dinamakan Masjid Demak.
Bangunan masjid itu didirikan oleh para Wali bersama-sama
dalam waktu satu malam. Atap tengahnya di topang seperti lazimnya, oleh empat
tiang kayu raksasa. Salah satu di antaranya tidak terbuat dari satu batang kayu
utuh melaikan dari beberapa balok yang diikat menjadi satu. Tiang tersebut
adalah sumbangan kanjeng Sunan Kalijaga. Rupanya tiang itu di susun dari
potongan-potongan balok yang tersisa dari pekerjaan Wali-wali lainnya, pada
malam pembuatan bangunan itu ia datang terlambat, oleh karenanya tidak dapat
menghasilkan sebuah pekerjaan yang utuh.
Dalam mendirikan tiang-tiang Masjid Demak tersebut sudah
jelas bahwa ada empat wali yang memiliki tagas-tugas tersendiri. Diantara empat
tiang itu yang paling terkenal ialah tiang yang dibuat oleh Sunan Kalijaga yang
berbentu dari kumbulan-kumpulan kayu-kayu kecil yang diikat menjadi satu sampai
menjadi tiang yang besar dan panjang. Tiang milik Sunan Kalijaga terbuat dari
kumpulan-kumpulan kayu kecil karena pada saat itu Sunan Kalijaga lupa akan
tugasnya di saat itu pula Sunan Kalijaga lupa tidak menyediakan Batang kayu
untuk membuat tiang Masjid, maka Sunan Kalijaga mengumpulkan kepingan-kepingan
dan potongan-potongan kayu kecil dan diikat hingga menjadi tiang yang besar dan
kuat.
Soko-soko guru tersebut panjangnya 32 m dan besar garis
menengahnya 1,45 m. Sekarang soko tatal tersebut, yang tatal aslinya dapat
dilihat dengan jelas dari atas masjid, sudah di palut dan diberi berbingkai
kawat supaya sama bentuknya dengan tiang-tiang yang lain Sangat besar untuk
sebuah tiang masjid yang terbuat dari kumpulan-kumpulan kayu-kayu kecil yang
disatukan. Meskipun sekarang sudah direnovasi dan bentuknya tidak sama dengan
aslinya, namun di bagian atas masjid masih terdapat tiang yang masih asli.
Masjid ini di dirikan di atas lantai batu merah, berwarna
sedikit keputih-putihan, yang masing-masing tidak lebih besar dari 40 x 20 cm
dan tebalnya 15 cm. Bangunan Masjid Demak merupakan bangunan yang ada di atas
lantai batu merah, batu merah tersebut juga berfungsi sebagai pondasi dari
bangunan masjid itu.
Para wali-wali turut mengambil bagian dalam pembangunan
masjid ini. Sultan Demak ke I, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati,
Sunan Geseng, Sunan Temboja, Sunan Giri, Sunan Kudus dan Sunan Ampel. Sultan
Demak ke I dan Sunan Kalijaga, ialah wali-wali yang mengambil minat dalam hal
ini dan yang memimpin usaha yang mendirikan masjid itu. Dalam sejarah masjid
Demak kabarnya dua wali ini lah yang lebih besar pengaruhnya dan keramatnya.
Dengan secara perincian disebutkan dalam Babat Demak bagaimana wali-wali ini
mengatur pembagian pekerjaannya, sehingga segala sesuatu dapat berjalan dengan
baik dan segala kesukaran dapat disingkirkan dalam masa-masa permulaan Islam di
tanah Jawa itu.
Sunan
Kalijaga
Sultan Demak ke I dan Sunan Kalijaga memiliki peranan
yang sangat penting sesuai bagaimana yang dijelaskan di atas. Dan dapat disebut
juga kedua wali tersebut adalah pimpinan dalam pembangunan masjid Demak pada
saat itu. Mereka mempunyai pemikiran yang sempurna bagaimana cara pembagian
pekerjaan sehingga lancar seperti itu.
Soko serambi, yaitu tiang-tiang yang terdapat pada
pendopo masjid, sebanyak delapan buah, menurut cerita berasal dari istana raja
Majapahit, Prabu Brawijaya ke-V, ayah Raden Patah, Sultan Demak ke-I, yang
diangkut sesudah peperangan Majapahit – Demak Bintoro, dan dijadikan
bahan-bahan pendirian Masjid Demak. Dengan adanya soko serambi atau tiang-tiang
bagian luar, menambah nilai keindahan pada bangunan Masjid Demak.
Arsitektur
Masjid Demak
Masjid Demak adalah suatu karya arsitektur
islam yang terlahir dari interaksi antara prinsip – prinsip dasar islam dengan
pemikiran masyarakat ketika itu. Produk Arsitektur Islam tradisional di
Indonesia khususnya Masjid secara nyata telah mampu mengintegrasikan ajaran
Agama Islam dengan budaya setempat ( local genius). Lokal Genius dapat
diartikan sebagai segala unsure yang dimiliki oleh lokalitas ataupun budaya
setempat sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan tertentu, penyebutan unsur-unsur
setempat dengan istilah genius menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut mempunyai
kekuatan atau ketahanan tertentu yang hanya dimiliki olehnya.
Bentuk
Penerapan Dalam Bangunan
Masjid Agung Demak luas keseluruhannya berukuran 24 x 24
meter persegi, serambi berukuran 31 X 15 meter dengan panjang keliling 35 X
2,35 meter, tatak rambat ukuran 25 X 3 meter dan ruang bedug berukuran 3,5 X
2,5 meter. Keseluruhan bangunan ditopang 128 soko, empat di antaranya soko guru
yang menjadi penyangga utama bangunan masjid. Jumlah tiang penyangga masjid 50
buah, sebanyak 28 penyangga serambi dan 34 tiang penyangga tatak rambat, sedang
tiang keliling sebanyak 16 buah. Bentuk bangunan itu lebih banyak memanfaatkan
bahan dari kayu yang banyak ditemukan di sekitarnya.
Hampir seluruh bangunan mulai dari atap (genting),
kerangka konstruksi, balok loteng, geladag, soko guru, dan lain–lain terbuat
dari kayu jati ukuran besar. Seperti pada arsitektur Jawa pada umumnya termasuk
masjid-masjid di Jawa atapnya bersusun tiga. Bagian ke tiga atau puncak
berbentuk piramidal tersebut disangga oleh empat tiang utama yang terbuat dari
kayu jati atau soko guru yang sangat besar.
Kritik
Arsitektur
Bangunan
kompleks Masjid Agung Demak memiliki beberapa ciri khas diantaranya :
·
Perwujudan
akulturasi budaya
·
Teknik
rancang bangun tanpa paku
·
Pembuatan
soko guru.
Fasilitas :
Parkir, Taman, Gudang, Tempat Penitipan Sepatu/Sandal, Kamar
Mandi/WC, Tempat Wudhu, Sarana Ibadah , Museum Masjid
Agung Demak
Daya Tampung
Jamaah : 1000 orang
Luas keseluruhan bangunan utama Masjid Agung Demak adalah 31 x 31 m2. Di
samping bangunan utama, juga terdapat serambi masjid yang berukuran 31 x 15 m
dengan panjang keliling 35 x 2,35 m; bedug dengan ukuran 3,5 x 2,5 m; dan tatak
rambat dengan ukuran 25 x 3 m.
Serambi masjid berbentuk bangunan yang terbuka. Bangunan masjid ditopang
dengan 128 soko, yang empat di antaranya merupakan soko guru sebagai penyangga
utamanya. Tiang penyangga bangunan masjid berjumlah 50 buah, tiang penyangga
serambi berjumlah 28 buah, dan tiang kelilingnya berjumlah 16 buah.
Masjid ini memiliki keistimewaan berupa arsitektur khas ala Nusantara.
Masjid ini menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama
kaki. Atap limas ini berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang
lebih terbiasa dengan bentuk kubah. Ternyata model atap limas bersusun tiga ini
mempunyai makna, yaitu bahwa seorang beriman perlu menapaki tiga tingkatan
penting dalam keberagamaannya: iman, Islam, dan ihsan. Di samping itu, masjid
ini memiliki lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lain,
yang memiliki makna rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan
haji. Masjid ini memiliki enam buah jendela, yang juga memiliki makna rukun
iman, yaitu percaya kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya,
kitab-kitab-Nya, hari kiamat, dan qadha-qadar-Nya.
Masjid Agung Demak
Kesimpulan
Pada penulisan ini berikut kesimpulan yang kami
ambil :
·
Masjid agung
demak merupakan masjid tertua di indonesia.
·
Masjid agung
demak dibangun oleh sunan kalijaga.
·
Pada atap
bertumpuk tiga melambangkan mukmin, muslim, dan mukhsin.
·
Walaupun
bangunan masjid tetapi tidak menggunakan kubah melain kan menggunakan atap
bertumpuk yang mencirikan arsitektur jawa.
·
Pada tiang penyangga
masjid (sokoguru) terdapat 4 tiang utama yang konon dibuat langsung oleh 4
sunan.
·
Pada
sejarahnya masjid agung demak masih terdapat legenda – legenda yang masih
dipercaya oleh masyarakat hingga saat ini.
DAFTAR PUSTAKA