THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 04 Januari 2017

KRITIK BANGUNAN PRA KOLONIAL (Hindu, Budha, Islam), Tugas Kritik Arsitektur


CANDI GUNUNG SIWA ( HINDU )
Bukit yang menjulang di tengah persawahan itu terkesan tak istimewa. Sama seperti bukit-bukit lain pada umumnya yang rimbun tertutup semak dan pepohonan. Suasana di sekitarnya cenderung sepi, apalagi sebagian tempat di daerah ini juga rusak diterjang lahar dingin Gunung Merapi 4 tahun lalu. Tak banyak yang tahu jika di bukit itu terdapat sebuah situs bersejarah berupa candi Hindu yang diduga sebagai yang tertua di tanah Jawa.
1423297199846622495Di masa lampau Pulau Jawa memang menjadi pusat kebudayaan dan peradaban paling berkembang di Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya banyak peninggalan bersejarah terutama candi-candi di sekitar Pulau Jawa. Puluhan candi, terutama yang terletak di Jawa Tengah dan Jawa Timur itu kini bisa disimak berikut dengan cerita kebesaran peradaban yang dibawanya. Namun, tak semua candi tertata dengan baik.      





Bukit Gunung Sari di desan Gulon, Kabupaten Magelang tempat ditemukannya situs candi dengan ribuan bebatuan unik dari masa Hindu.
14232973001318836460






Persawahan di kaki bukit Gunung Sari


Situs candi Gunung Sari di Desa Gulon, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang ini merupakan jejak kebesaran peradaban yang masih tersamar dan belum tertata. Candi ini juga belum banyak dikenal. Cobalah googling nama candi ini, tak banyak cerita yang bisa ditemukan. Sehari-hari Candi Gunung Sari hampir tak pernah dikunjungi orang kecuali beberapa warga setempat yang singgah usai mencari kayu bakar atau merawat kebun mereka di sekitar candi. Begitu pun saat saya berkunjung ke tempat ini pada akhir Januari 2015 lalu, hanya ada seorang penduduk setempat yang sehari-hari merawat candi bernama Sriyono.     
14232974491057812050







14232975311873292542Struktur besar yang diduga merupakan candi utama di situs Gunung Sari.          











Pondasi candi tersusun dari bebatuan berbentuk persegi panjang


Selain belum dikenal luas, Candi Gunung Sari juga “terasing” di puncak sebuah bukit yang hijau dan penuh pepohonan. Untuk sampai ke situs Candi Gunung Sari, kita harus berjalan menaiki bukit selama 20 menit melalui lahan yang sebagian telah menjadi hak milik warga sekitar. Di sekeliling bukit hamparan sawah khas pedesaan membentuk pemandangan yang manis.         
14232984652002193040
Ribuan bebatuan beragam bentuk dan ukuran berserakan di situs Candi Gunung Sari.

1423298630682795321
oni yang ditemukan di tengah-tengah area candi.


Candi Gunung Sari merupakan peninggalan zaman Hindu yang diduga berasal dari masa abad ke-6 hingga ke-8. Itu berarti candi ini lebih tua dibandingkan Candi Borobudur dan Prambanan. Candi Gunung Sari juga diduga sebagai bagian dari situs candi tertua di tanah Jawa.      
Candi Gunung Sari ditemukan secara tak sengaja di tahun 1996. Namun sejak tahun 1980-an keberadaan situs bersejarah di tempat ini telah diketahui penduduk setempat. Bebatuan candi ditemukan di puncak bukit saat hendak dibangun tower transimisi TVRI. Pembangunan tower pun dihentikan dan ekskavasi dilakukan hingga akhirnya ditemukan struktur candi dengan ribuan bebatuan tersebar di berbagai lokasi. Candi Gunung Sari pun akhirnya ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.        

1423299876949106251
Struktur candi yang masih terpendam sebagian di dalam tanah.

Bagian utama situs ini berada di puncak bukit dengan area berukuran sekitar 20 x 20 m. Area tersebut dikelilingi pagar setinggi 1 meter dan dengan dua pintu di sisi barat dan timur. Pohon pule (Alstonia scholaris) yang diyakini berusia ratusan tahun tumbuh tegak dengan akar-akar besar di sisi timur.

1423298811685847925
Kondisi bebatuan candi di situs Gunung Sari belum tersusun utuh dan berserakan di sejumlah titik di puncak bukit


Ribuan bongkah bebatuan berbagai bentuk dan ukuran terserak bertumpukan di puncak bukit. Bentuk struktur candi belum terlihat jelas. Diperkirakan di bagian puncak bukit ini terdapat dua struktur besar di sisi timur dan barat. Di sekeliling struktur utama tersebut terdapat beberapa struktur kecil yang tersusun dari beberapa batu yang ditumpuk. Tumpukan bebatuan tersebut juga belum menunjukkan bentuk yang utuh. Namun setidaknya hal itu menunjukkan bahwa situs Gunung Sari terdiri dari candi berukuran besar yang dikelilingi bangunan-bangunan lain berukuran lebih kecil.
Bebatuan candi di puncak adalah hasil penemuan dari beberapa lokasi. Hal ini diamini oleh Sriyono yang menjelaskan bahwa selain di puncak bukit, beberapa batuan candi masih sering ditemukan di bawah dan di jalan menuju puncak. Struktur yang diduga gerbang utama candi diyakini juga masih terpendam beberapa meter di dalam tanah. Di sisi selatan terlihat beberapa batuan candi yang masih terpendam sebagian di dalam tanah. Diduga masih banyak struktur candi lainnya yang belum tersingkap.    
14233003461313097099
Struktur batu berbentuk silinder yang diduga sebagai tempat penyimpanan abu jenazah.


14232987121788217751
Berbagai bentuk ukiran dan relief di sejumlah batu yang ditemukan di situs Candi Gunung Sari.


Selain itu ada sebuah batu berbentuk persegi panjang berukuran besar dengan 2 lubang di kedua ujungnya. Batu ini diduga bagian dari struktur gerbang. Bagian yang diyakini sebagai tempat rumah arca juga ditemukan berserakan di beberapa titik. Ada juga sebuah batu panjang yang salah satu permukaan penuh dengan ukiran relief. Ukiran relief juga terlihat dari beberapa bebatuan yang berukuran lebih kecil. Namun struktur bebatuan yang belum tersusun sempurna menyebabkan bentuk relief-relief itu tidak dapat disimak secara utuh.         

Berada tak sampai 1 jam dari Candi Borobudur atau di perbatasan Yogyakarta dan Magelang, situs Candi Gunung Sari saat ini membutuhkan perhatian. Penelitian dan rekonstruksi lanjutan diperlukan untuk mengungkap jejak peradaban secara lebih utuh di tempat ini. Bebatuan candi yang berserakan juga membutuhkan perawatan agar tak rusak karena pelapukan atau hilang dicuri. Strategi konservasi juga diperlukan karena situs Gunung Sari berada di daerah rawan aliran lahar dingin Gunung Merapi. Situs Candi Gunung Sari menanti sentuhan perhatian untuk dirawat dan diselamatkan.   
Kritik impressionis
Menggunakan karya seni atau bangunan sebagai dasar bagi pembentukan karya keseniannya.

CANDI SEWU ( BUDHA )
Berdasarkan Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 dan Prasasti Manjusrigrha yang berangka tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama asli candi ini adalah ”Prasada Vajrasana Manjusrigrha”. Istilah Prasada bermakna candi atau kuil, sementaraVajrajasana bermakna tempat Wajra (intan atau halilintar) bertakhta, sedangkan Manjusri-grha bermakna Rumah Manjusri. Manjusriadalah salah satu Boddhisatwa dalam ajaran buddha. Candi Sewu diperkirakan dibangun pada abad ke-8 masehi pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746–784) adalah raja yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno.
Kompleks candi ini mungkin dipugar, dan diperluas pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, seorang pangeran dari dinasti Sanjayayang menikahi Pramodhawardhani dari dinasti Sailendra. Setelah dinasti Sanjaya berkuasa rakyatnya tetap menganut agama sebelumnya. Adanya candi Sewu yang bercorak buddha berdampingan dengan candi Prambanan yang bercorak hindu menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup secara harmonis dan adanya toleransi beragama. Karena keagungan dan luasnya kompleks candi ini, candi Sewu diduga merupakan Candi Buddha Kerajaan, sekaligus pusat kegiatan agama buddha yang penting pada masa lalu. Candi ini terletak di lembah Prambanan yang membentang dari lereng selatan gunung Merapidi utara hingga pegunungan Sewu di selatan, di sekitar perbatasan Yogyakarta dengan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di lembah ini tersebar candi-candi dan situs purbakala yang berjarak hanya beberapa ratus meter satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan kawasan penting artinya dalam sektor keagamaan, politik, dan kehidupan urban masyarakat Jawa kuna.
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f1/Sewu09_4.jpg/250px-Sewu09_4.jpg
Kompleks Candi Sewu, tampak candi utama di sebelah kiri dan salah satu candipenjuru atau perwara utama di sebelah kanan

Candi ini rusak parah akibat gempa pada bulan Mei 2006 di Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan. Kerusakan struktur bangunan sangat nyata dan candi utama menderita kerusakan paling parah. Pecahan bebatuan berserakan di atas tanah, retakan dan rekahan antar sambungan batu terlihat. Untuk mencegah keruntuhan bangunan, kerangka besi dipasang di keempat sudut bangunan untuk menunjang dan menahan tubuh candi utama. Meskipun situs dibuka kembali untuk pengunjung beberapa pekan kemudian setelah gempa pada tahun 2006, seluruh bagian candi utama tetap ditutup dan tidak boleh dimasuki demi alasan keamanan.
Kini setelah dipugar, kerangka logam penopang candi utama telah dilepas dan pengunjung dapat memasuki ruangan dalam candi utama.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/c/cc/Candi_Sewu.JPG/250px-Candi_Sewu.JPG
Salah satu dari candi penjuru di Candi Sewu

Kompleks candi Sewu adalah kumpulan candi Buddha terbesar di kawasan sekitar Prambanan, dengan bentang ukuran lahan 185 meter utara-selatan dan 165 meter timur-barat. Pintu masuk kompleks dapat ditemukan di keempat penjuru mata angin, tetapi mencermati susunan bangunannya, diketahui pintu utama terletak di sisi timur. Tiap pintu masuk dikawal oleh sepasang arcaDwarapala. Arca raksasa penjaga berukuran tinggi sekitar 2,3 meter ini dalam kondisi yang cukup baik, dan replikanya dapat ditemukan di Keraton Yogyakarta.
Aslinya terdapat 249 bangunan candi di kompleks ini yang disusun membentuk mandala wajradhatu, perwujudan alam semesta dalam kosmologi Buddha Mahayana. Selain satu candi utama yang terbesar, pada bentangan poros tengah, utara-selatan dan timur-barat, pada jarak 200 meter satu sama lain, antara baris ke-2 dan ke-3 candi Perwara (pengawal) kecil terdapat 8 Candi Penjuru, candi-candi ini ukurannya kedua terbesar setelah candi utama. Aslinya di setiap penjuru mata angin terdapat masing-masing sepasang candi penjuru yang saling berhadapan, tetapi kini hanya candi penjuru kembar timur dan satu candi penjuru utara yang masih utuh. Berdasarkan penelitian fondasi bangunan, diperkirakan hanya satu candi penjuru di utara dan satu candi penjuru di selatan yang sempat dibangun, keduanya menghadap timur. Itu berarti mungkin memang candi penjuru utara sisi timur dan penjuru uselatan sisi timur memang tidak pernah (tidak sempat) dibangun untuk melengkapi rancangan awalnya.
Candi perwara (pengawal) yang berukuran lebih kecil aslinya terdiri atas 240 buah dengan disain yang hampir serupa dan tersusun atas empat barisan yang konsentris. Dilihat dari bagian terdalam (tengah), baris pertama terdiri atas 28 candi, dan baris kedua terdiri atas 44 candi yang tersusun dengan interval jarak tertentu. Dua barisan terluar, baris ketiga terdiri dari 80 candi, sedangkan baris keempat yang terluar terdiri atas 88 candi-candi kecil yang disusun berdekatan.
Dari keempat baris candi perwara ini terdapat dua junis rancangan candi perwara; baris keempat (terluar) memiliki rancang bentuk yang serupa dengan baris pertama (terdalam), yaitu pada bagian penampang gawang pintunya, sedangkan baris kedua dan ketiga memiliki rancang bentuk yang lebih tinggi dengan gawang pintu yang berbeda. Banyak patung dan ornamen yang telah hilang dan susunannya telah berubah. Candi-candi perwara ini diisi arca-arca Dhyani Buddha. Ditemukan empat jenis Dhyani Buddha di kompleks Candi Sewu. Arca-arca buddha yang dulu mengisi candi-candi ini mengkin serupa dengan arca buddha di Borobudur.
Candi-candi yang lebih kecil ini mengelilingi candi utama yang paling besar tetapi beberapa bagiannya sudah tidak utuh lagi. Di balik barisan ke-4 candi kecil terdapat pelataran beralas batu dan ditengahnya berdiri candi utama.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f4/Sewu_Aerial_view.jpg/250px-Sewu_Aerial_view.jpg
Kompleks Candi Sewu dilihat dari udara membentuk pola Mandala Wajradhatu.

Candi utama memiliki denah poligon bersudut 20 yang menyerupai salib atau silang yang berdiameter 29 meter dan tinggi bangunan mencapai 30 meter. Pada tiap penjuru mata angin terdapat struktur bangunan yang menjorok ke luar, masing-masing dengan tangga dan ruangan tersendiri dan dimahkotai susunan stupa. Seluruh bangunan terbuat dari batu andesit. Ruangan di empat penjuru mata angin ini saling terhubungkan oleh galeri sudut berpagar langkan.
Berdasarkan temuan pada saat pemugaran, diperkirakan rancangan awal bangunan hanya berupa candi utama berkamar tunggal. Candi ini kemudian diperluas dengan menambahkan struktur tambahan di sekelilingnya. Pintu dibuat untuk menghubungkan bangunan tambahan dengan candi utama dan menciptakan bangunan candi utama dengan lima ruang. Ruangan utama di tengah lebih besar dengan atap yang lebih tinggi, dan dapat dimasuki melalui ruang timur. Kini tidak terdapat patung di kelima ruangan ini.[2]. Akan tetapi berdasarkan adanya landasan atau singgasana batu berukir teratai di ruangan utama, diduga dahulu dalam ruangan ini terdapat arca bodhisattwa Manjusri atau buddha dari bahan perunggu yang tingginya mencapai 4 meter. Akan tetapi kini arca itu telah hilang, mungkin telah dijarah untuk mengambil logamnya sejak berabad-abad lalu.







Kritik impressionis
Menggunakan karya seni atau bangunan sebagai dasar bagi pembentukan karya keseniannya.

MESJID AGUNG DEMAK ( ISLAM )
Pada pertengahan abad ke-15 penduduk di Jawa belum banyak yang menganut agama Islam dan kebanyakannya adalah pengikut-pengikut agama Budha, maka oleh mubalik Islam yaitu para Wali yang sembilan itu di pikirkan mengadakan tempat yang tetap untuk penyiaran dan penerangan agama. Pada waktu itu surau dan langgar belum terdapat di Jawa. Para Wali yang kesembilan itu memikirkan jalan keluar bagaimana cara menyiarkan agama Islam ke seluruh pulau Jawa. Sedangkan masyarakat Jawa pada saat itu kebanyakan menganut agama Hindu-Budha.
Pada suatu hari para Wali itu berkumpul membicarakan soal-soal di sekitar penyiaran Islam dan dalam permusyawaratan itu telah di putuskan akan mendirikan masjid di Gelagah Wangi Demak, termasuk wilayah Jawa Tengah. Setelah para Wali ke sembilan itu memikirkan, mereka berencana untuk membangun sebuah Masjid yang berfungsi untuk menyiarkan agama Islam di Gelagah Wangi dan Masjid tersebut dinamakan Masjid Demak.
Bangunan masjid itu didirikan oleh para Wali bersama-sama dalam waktu satu malam. Atap tengahnya di topang seperti lazimnya, oleh empat tiang kayu raksasa. Salah satu di antaranya tidak terbuat dari satu batang kayu utuh melaikan dari beberapa balok yang diikat menjadi satu. Tiang tersebut adalah sumbangan kanjeng Sunan Kalijaga. Rupanya tiang itu di susun dari potongan-potongan balok yang tersisa dari pekerjaan Wali-wali lainnya, pada malam pembuatan bangunan itu ia datang terlambat, oleh karenanya tidak dapat menghasilkan sebuah pekerjaan yang utuh.
Dalam mendirikan tiang-tiang Masjid Demak tersebut sudah jelas bahwa ada empat wali yang memiliki tagas-tugas tersendiri. Diantara empat tiang itu yang paling terkenal ialah tiang yang dibuat oleh Sunan Kalijaga yang berbentu dari kumbulan-kumpulan kayu-kayu kecil yang diikat menjadi satu sampai menjadi tiang yang besar dan panjang. Tiang milik Sunan Kalijaga terbuat dari kumpulan-kumpulan kayu kecil karena pada saat itu Sunan Kalijaga lupa akan tugasnya di saat itu pula Sunan Kalijaga lupa tidak menyediakan Batang kayu untuk membuat tiang Masjid, maka Sunan Kalijaga mengumpulkan kepingan-kepingan dan potongan-potongan kayu kecil dan diikat hingga menjadi tiang yang besar dan kuat.
Soko-soko guru tersebut panjangnya 32 m dan besar garis menengahnya 1,45 m. Sekarang soko tatal tersebut, yang tatal aslinya dapat dilihat dengan jelas dari atas masjid, sudah di palut dan diberi berbingkai kawat supaya sama bentuknya dengan tiang-tiang yang lain Sangat besar untuk sebuah tiang masjid yang terbuat dari kumpulan-kumpulan kayu-kayu kecil yang disatukan. Meskipun sekarang sudah direnovasi dan bentuknya tidak sama dengan aslinya, namun di bagian atas masjid masih terdapat tiang yang masih asli.
Masjid ini di dirikan di atas lantai batu merah, berwarna sedikit keputih-putihan, yang masing-masing tidak lebih besar dari 40 x 20 cm dan tebalnya 15 cm. Bangunan Masjid Demak merupakan bangunan yang ada di atas lantai batu merah, batu merah tersebut juga berfungsi sebagai pondasi dari bangunan masjid itu.
Para wali-wali turut mengambil bagian dalam pembangunan masjid ini. Sultan Demak ke I, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Geseng, Sunan Temboja, Sunan Giri, Sunan Kudus dan Sunan Ampel. Sultan Demak ke I dan Sunan Kalijaga, ialah wali-wali yang mengambil minat dalam hal ini dan yang memimpin usaha yang mendirikan masjid itu. Dalam sejarah masjid Demak kabarnya dua wali ini lah yang lebih besar pengaruhnya dan keramatnya. Dengan secara perincian disebutkan dalam Babat Demak bagaimana wali-wali ini mengatur pembagian pekerjaannya, sehingga segala sesuatu dapat berjalan dengan baik dan segala kesukaran dapat disingkirkan dalam masa-masa permulaan Islam di tanah Jawa itu.

SUNAN_KALIJAGA_1
Sunan Kalijaga

Sultan Demak ke I dan Sunan Kalijaga memiliki peranan yang sangat penting sesuai bagaimana yang dijelaskan di atas. Dan dapat disebut juga kedua wali tersebut adalah pimpinan dalam pembangunan masjid Demak pada saat itu. Mereka mempunyai pemikiran yang sempurna bagaimana cara pembagian pekerjaan sehingga lancar seperti itu.
Soko serambi, yaitu tiang-tiang yang terdapat pada pendopo masjid, sebanyak delapan buah, menurut cerita berasal dari istana raja Majapahit, Prabu Brawijaya ke-V, ayah Raden Patah, Sultan Demak ke-I, yang diangkut sesudah peperangan Majapahit – Demak Bintoro, dan dijadikan bahan-bahan pendirian Masjid Demak. Dengan adanya soko serambi atau tiang-tiang bagian luar, menambah nilai keindahan pada bangunan Masjid Demak.

Arsitektur Masjid Demak
      Masjid Demak adalah suatu karya arsitektur islam yang terlahir dari interaksi antara prinsip – prinsip dasar islam dengan pemikiran masyarakat ketika itu. Produk Arsitektur Islam tradisional di Indonesia khususnya Masjid secara nyata telah mampu mengintegrasikan ajaran Agama Islam dengan budaya setempat ( local genius). Lokal Genius dapat diartikan sebagai segala unsure yang dimiliki oleh lokalitas ataupun budaya setempat sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan tertentu, penyebutan unsur-unsur setempat dengan istilah genius menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut mempunyai kekuatan atau ketahanan tertentu yang hanya dimiliki olehnya.
Bentuk Penerapan Dalam Bangunan
Masjid Agung Demak luas keseluruhannya berukuran 24 x 24 meter persegi, serambi berukuran 31 X 15 meter dengan panjang keliling 35 X 2,35 meter, tatak rambat ukuran 25 X 3 meter dan ruang bedug berukuran 3,5 X 2,5 meter. Keseluruhan bangunan ditopang 128 soko, empat di antaranya soko guru yang menjadi penyangga utama bangunan masjid. Jumlah tiang penyangga masjid 50 buah, sebanyak 28 penyangga serambi dan 34 tiang penyangga tatak rambat, sedang tiang keliling sebanyak 16 buah. Bentuk bangunan itu lebih banyak memanfaatkan bahan dari kayu yang banyak ditemukan di sekitarnya.
Hampir seluruh bangunan mulai dari atap (genting), kerangka konstruksi, balok loteng, geladag, soko guru, dan lain–lain terbuat dari kayu jati ukuran besar. Seperti pada arsitektur Jawa pada umumnya termasuk masjid-masjid di Jawa atapnya bersusun tiga. Bagian ke tiga atau puncak berbentuk piramidal tersebut disangga oleh empat tiang utama yang terbuat dari kayu jati atau soko guru yang sangat besar.




denah.jpg

Kritik Arsitektur
Bangunan kompleks Masjid Agung Demak memiliki beberapa ciri khas diantaranya :
·         Perwujudan akulturasi budaya
·         Teknik rancang bangun tanpa paku
·         Pembuatan soko guru.
Fasilitas : Parkir, Taman, Gudang, Tempat Penitipan Sepatu/Sandal, Kamar Mandi/WC,     Tempat Wudhu, Sarana Ibadah , Museum Masjid Agung Demak
Daya Tampung Jamaah : 1000 orang
Luas keseluruhan bangunan utama Masjid Agung Demak adalah 31 x 31 m2. Di samping bangunan utama, juga terdapat serambi masjid yang berukuran 31 x 15 m dengan panjang keliling 35 x 2,35 m; bedug dengan ukuran 3,5 x 2,5 m; dan tatak rambat dengan ukuran 25 x 3 m.
Serambi masjid berbentuk bangunan yang terbuka. Bangunan masjid ditopang dengan 128 soko, yang empat di antaranya merupakan soko guru sebagai penyangga utamanya. Tiang penyangga bangunan masjid berjumlah 50 buah, tiang penyangga serambi berjumlah 28 buah, dan tiang kelilingnya berjumlah 16 buah.
Masjid ini memiliki keistimewaan berupa arsitektur khas ala Nusantara. Masjid ini menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki. Atap limas ini berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang lebih terbiasa dengan bentuk kubah. Ternyata model atap limas bersusun tiga ini mempunyai makna, yaitu bahwa seorang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya: iman, Islam, dan ihsan. Di samping itu, masjid ini memiliki lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lain, yang memiliki makna rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Masjid ini memiliki enam buah jendela, yang juga memiliki makna rukun iman, yaitu percaya kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat, dan qadha-qadar-Nya.

detik_masjiddemak2
Masjid Agung Demak


Kesimpulan
         Pada penulisan ini berikut kesimpulan yang kami ambil :
·         Masjid agung demak merupakan masjid tertua di indonesia.
·         Masjid agung demak dibangun oleh sunan kalijaga.
·         Pada atap bertumpuk tiga melambangkan mukmin, muslim, dan mukhsin.
·         Walaupun bangunan masjid tetapi tidak menggunakan kubah melain kan menggunakan atap bertumpuk yang mencirikan arsitektur jawa.
·         Pada tiang penyangga masjid (sokoguru) terdapat 4 tiang utama yang konon dibuat langsung oleh 4 sunan.
·         Pada sejarahnya masjid agung demak masih terdapat legenda – legenda yang masih dipercaya oleh masyarakat hingga saat ini.

0 komentar: