CANDI GUNUNG SIWA ( HINDU )
Bukit yang menjulang di tengah persawahan itu terkesan tak
istimewa. Sama seperti bukit-bukit lain pada umumnya yang rimbun tertutup semak
dan pepohonan. Suasana di sekitarnya cenderung sepi, apalagi sebagian tempat di
daerah ini juga rusak diterjang lahar dingin Gunung Merapi 4 tahun lalu. Tak
banyak yang tahu jika di bukit itu terdapat sebuah situs bersejarah berupa
candi Hindu yang diduga sebagai yang tertua di tanah Jawa.
Di masa
lampau Pulau Jawa memang menjadi pusat kebudayaan dan peradaban paling
berkembang di Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya banyak
peninggalan bersejarah terutama candi-candi di sekitar Pulau Jawa. Puluhan
candi, terutama yang terletak di Jawa Tengah dan Jawa Timur itu kini bisa
disimak berikut dengan cerita kebesaran peradaban yang dibawanya. Namun, tak
semua candi tertata dengan baik.
Bukit Gunung
Sari di desan Gulon, Kabupaten Magelang tempat ditemukannya situs candi dengan
ribuan bebatuan unik dari masa Hindu.
Persawahan di kaki bukit Gunung Sari
Situs candi Gunung Sari di Desa Gulon, Kecamatan Salam,
Kabupaten Magelang ini merupakan jejak kebesaran peradaban yang masih tersamar
dan belum tertata. Candi ini juga belum banyak dikenal. Cobalah googling nama
candi ini, tak banyak cerita yang bisa ditemukan. Sehari-hari Candi Gunung Sari
hampir tak pernah dikunjungi orang kecuali beberapa warga setempat yang singgah
usai mencari kayu bakar atau merawat kebun mereka di sekitar candi. Begitu pun
saat saya berkunjung ke tempat ini pada akhir Januari 2015 lalu, hanya ada
seorang penduduk setempat yang sehari-hari merawat candi bernama Sriyono.
Struktur besar yang diduga merupakan candi utama di situs Gunung Sari.
Pondasi candi tersusun dari bebatuan berbentuk
persegi panjang
Selain belum dikenal luas, Candi Gunung Sari juga “terasing”
di puncak sebuah bukit yang hijau dan penuh pepohonan. Untuk sampai ke situs
Candi Gunung Sari, kita harus berjalan menaiki bukit selama 20 menit melalui
lahan yang sebagian telah menjadi hak milik warga sekitar. Di sekeliling bukit
hamparan sawah khas pedesaan membentuk pemandangan yang manis.
Ribuan bebatuan beragam bentuk dan ukuran berserakan di situs Candi Gunung Sari.
oni yang ditemukan di tengah-tengah area candi.
Candi Gunung Sari merupakan peninggalan zaman Hindu yang diduga berasal dari masa abad ke-6 hingga ke-8. Itu berarti candi ini lebih tua dibandingkan Candi Borobudur dan Prambanan. Candi Gunung Sari juga diduga sebagai bagian dari situs candi tertua di tanah Jawa.
Candi Gunung Sari ditemukan secara tak sengaja di tahun 1996.
Namun sejak tahun 1980-an keberadaan situs bersejarah di tempat ini telah
diketahui penduduk setempat. Bebatuan candi ditemukan di puncak bukit saat
hendak dibangun tower transimisi TVRI. Pembangunan tower pun dihentikan dan
ekskavasi dilakukan hingga akhirnya ditemukan struktur candi dengan ribuan
bebatuan tersebar di berbagai lokasi. Candi Gunung Sari pun akhirnya ditetapkan
sebagai cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.
Struktur candi yang masih terpendam sebagian di
dalam tanah.
Bagian utama situs ini berada di puncak bukit dengan area
berukuran sekitar 20 x 20 m. Area tersebut dikelilingi pagar setinggi 1 meter
dan dengan dua pintu di sisi barat dan timur. Pohon pule (Alstonia scholaris)
yang diyakini berusia ratusan tahun tumbuh tegak dengan akar-akar besar di sisi
timur.
Kondisi bebatuan candi di situs Gunung Sari belum tersusun utuh dan berserakan di sejumlah titik di puncak bukit
Ribuan bongkah bebatuan berbagai bentuk dan ukuran terserak
bertumpukan di puncak bukit. Bentuk struktur candi belum terlihat jelas.
Diperkirakan di bagian puncak bukit ini terdapat dua struktur besar di sisi
timur dan barat. Di sekeliling struktur utama tersebut terdapat beberapa
struktur kecil yang tersusun dari beberapa batu yang ditumpuk. Tumpukan
bebatuan tersebut juga belum menunjukkan bentuk yang utuh. Namun setidaknya hal
itu menunjukkan bahwa situs Gunung Sari terdiri dari candi berukuran besar yang
dikelilingi bangunan-bangunan lain berukuran lebih kecil.
Bebatuan candi di puncak adalah hasil penemuan dari beberapa
lokasi. Hal ini diamini oleh Sriyono yang menjelaskan bahwa selain di puncak
bukit, beberapa batuan candi masih sering ditemukan di bawah dan di jalan
menuju puncak. Struktur yang diduga gerbang utama candi diyakini juga masih
terpendam beberapa meter di dalam tanah. Di sisi selatan terlihat beberapa
batuan candi yang masih terpendam sebagian di dalam tanah. Diduga masih banyak
struktur candi lainnya yang belum tersingkap.
Struktur batu berbentuk silinder yang diduga
sebagai tempat penyimpanan abu jenazah.
Berbagai bentuk ukiran dan relief di sejumlah batu yang ditemukan di situs Candi Gunung Sari.
Selain itu ada sebuah batu berbentuk persegi panjang
berukuran besar dengan 2 lubang di kedua ujungnya. Batu ini diduga bagian dari
struktur gerbang. Bagian yang diyakini sebagai tempat rumah arca juga ditemukan
berserakan di beberapa titik. Ada juga sebuah batu panjang yang salah satu
permukaan penuh dengan ukiran relief. Ukiran relief juga terlihat dari beberapa
bebatuan yang berukuran lebih kecil. Namun struktur bebatuan yang belum
tersusun sempurna menyebabkan bentuk relief-relief itu tidak dapat disimak
secara utuh.
Berada tak sampai 1 jam dari Candi Borobudur atau di perbatasan Yogyakarta dan Magelang, situs Candi Gunung Sari saat ini membutuhkan perhatian. Penelitian dan rekonstruksi lanjutan diperlukan untuk mengungkap jejak peradaban secara lebih utuh di tempat ini. Bebatuan candi yang berserakan juga membutuhkan perawatan agar tak rusak karena pelapukan atau hilang dicuri. Strategi konservasi juga diperlukan karena situs Gunung Sari berada di daerah rawan aliran lahar dingin Gunung Merapi. Situs Candi Gunung Sari menanti sentuhan perhatian untuk dirawat dan diselamatkan.
Berada tak sampai 1 jam dari Candi Borobudur atau di perbatasan Yogyakarta dan Magelang, situs Candi Gunung Sari saat ini membutuhkan perhatian. Penelitian dan rekonstruksi lanjutan diperlukan untuk mengungkap jejak peradaban secara lebih utuh di tempat ini. Bebatuan candi yang berserakan juga membutuhkan perawatan agar tak rusak karena pelapukan atau hilang dicuri. Strategi konservasi juga diperlukan karena situs Gunung Sari berada di daerah rawan aliran lahar dingin Gunung Merapi. Situs Candi Gunung Sari menanti sentuhan perhatian untuk dirawat dan diselamatkan.
Kritik
impressionis
Menggunakan karya seni atau bangunan sebagai
dasar bagi pembentukan karya keseniannya.
CANDI
SEWU ( BUDHA )
Berdasarkan Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 dan Prasasti
Manjusrigrha yang
berangka tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama asli candi ini adalah
”Prasada Vajrasana Manjusrigrha”. Istilah Prasada bermakna candi atau
kuil, sementaraVajrajasana bermakna
tempat Wajra (intan
atau halilintar) bertakhta, sedangkan Manjusri-grha bermakna Rumah Manjusri. Manjusriadalah
salah satu Boddhisatwa dalam ajaran buddha. Candi Sewu
diperkirakan dibangun pada abad ke-8 masehi pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran.
Rakai Panangkaran (746–784) adalah raja yang termahsyur dari kerajaan
Mataram Kuno.
Kompleks
candi ini mungkin dipugar, dan diperluas pada masa pemerintahan Rakai Pikatan,
seorang pangeran dari dinasti Sanjayayang
menikahi Pramodhawardhani dari dinasti Sailendra.
Setelah dinasti Sanjaya berkuasa rakyatnya tetap menganut agama sebelumnya.
Adanya candi Sewu yang bercorak buddha berdampingan dengan candi Prambanan yang
bercorak hindu menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan
Buddha hidup secara harmonis dan adanya toleransi beragama. Karena keagungan
dan luasnya kompleks candi ini, candi Sewu diduga merupakan Candi Buddha
Kerajaan, sekaligus pusat kegiatan agama buddha yang penting pada masa lalu.
Candi ini terletak di lembah Prambanan yang membentang dari lereng selatan gunung Merapidi
utara hingga pegunungan Sewu di selatan, di sekitar perbatasan Yogyakarta dengan Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah. Di lembah ini tersebar candi-candi dan situs purbakala yang berjarak
hanya beberapa ratus meter satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan
ini merupakan kawasan penting artinya dalam sektor keagamaan, politik, dan
kehidupan urban masyarakat Jawa kuna.
Kompleks Candi Sewu, tampak candi utama di sebelah kiri dan
salah satu candipenjuru atau perwara utama di sebelah kanan
Candi
ini rusak parah akibat gempa pada bulan Mei 2006 di Yogyakarta dan Jawa Tengah
bagian selatan. Kerusakan struktur bangunan sangat nyata dan candi utama
menderita kerusakan paling parah. Pecahan bebatuan berserakan di atas tanah,
retakan dan rekahan antar sambungan batu terlihat. Untuk mencegah keruntuhan
bangunan, kerangka besi dipasang di keempat sudut bangunan untuk menunjang dan
menahan tubuh candi utama. Meskipun situs dibuka kembali untuk pengunjung
beberapa pekan kemudian setelah gempa pada tahun 2006, seluruh bagian candi
utama tetap ditutup dan tidak boleh dimasuki demi alasan keamanan.
Kini
setelah dipugar, kerangka logam penopang candi utama telah dilepas dan
pengunjung dapat memasuki ruangan dalam candi utama.
Salah satu dari candi penjuru di Candi Sewu
Kompleks candi Sewu adalah kumpulan candi Buddha
terbesar di kawasan sekitar Prambanan, dengan bentang ukuran lahan 185 meter
utara-selatan dan 165 meter timur-barat. Pintu masuk kompleks dapat ditemukan
di keempat penjuru mata angin, tetapi mencermati susunan bangunannya, diketahui
pintu utama terletak di sisi timur. Tiap pintu masuk dikawal oleh sepasang arcaDwarapala.
Arca raksasa penjaga berukuran tinggi sekitar 2,3 meter ini dalam kondisi yang
cukup baik, dan replikanya dapat ditemukan di Keraton Yogyakarta.
Aslinya terdapat 249 bangunan
candi di kompleks ini yang disusun membentuk mandala wajradhatu, perwujudan alam
semesta dalam kosmologi Buddha Mahayana.
Selain satu candi utama yang terbesar, pada bentangan poros tengah,
utara-selatan dan timur-barat, pada
jarak 200 meter satu sama lain, antara baris ke-2 dan ke-3 candi Perwara (pengawal) kecil terdapat 8 Candi Penjuru, candi-candi ini
ukurannya kedua terbesar setelah candi utama. Aslinya di setiap penjuru mata
angin terdapat masing-masing sepasang candi penjuru yang saling berhadapan,
tetapi kini hanya candi penjuru kembar timur dan satu candi penjuru utara yang
masih utuh. Berdasarkan penelitian fondasi bangunan, diperkirakan hanya satu
candi penjuru di utara dan satu candi penjuru di selatan yang sempat dibangun,
keduanya menghadap timur. Itu berarti mungkin memang candi penjuru utara sisi
timur dan penjuru uselatan sisi timur memang tidak pernah (tidak sempat)
dibangun untuk melengkapi rancangan awalnya.
Candi perwara (pengawal) yang berukuran lebih kecil
aslinya terdiri atas 240 buah dengan disain yang hampir serupa dan tersusun
atas empat barisan yang konsentris. Dilihat dari bagian terdalam (tengah),
baris pertama terdiri atas 28 candi, dan baris kedua terdiri atas 44 candi yang
tersusun dengan interval jarak tertentu. Dua barisan terluar, baris ketiga
terdiri dari 80 candi, sedangkan baris keempat yang terluar terdiri atas 88
candi-candi kecil yang disusun berdekatan.
Dari keempat baris candi perwara ini terdapat dua
junis rancangan candi perwara; baris keempat (terluar) memiliki rancang bentuk
yang serupa dengan baris pertama (terdalam), yaitu pada bagian penampang gawang
pintunya, sedangkan baris kedua dan ketiga memiliki rancang bentuk yang lebih
tinggi dengan gawang pintu yang berbeda. Banyak patung dan ornamen yang telah
hilang dan susunannya telah berubah. Candi-candi perwara ini diisi arca-arca Dhyani Buddha.
Ditemukan empat jenis Dhyani Buddha di kompleks Candi Sewu. Arca-arca buddha
yang dulu mengisi candi-candi ini
mengkin serupa dengan arca buddha di Borobudur.
Candi-candi yang lebih kecil ini mengelilingi candi
utama yang paling besar tetapi beberapa bagiannya sudah tidak utuh lagi. Di
balik barisan ke-4 candi kecil terdapat pelataran beralas batu dan ditengahnya
berdiri candi utama.
Candi utama memiliki denah
poligon bersudut 20 yang menyerupai salib atau silang yang berdiameter 29
meter dan tinggi bangunan mencapai 30 meter. Pada tiap penjuru mata angin
terdapat struktur bangunan yang menjorok ke luar, masing-masing dengan tangga
dan ruangan tersendiri dan dimahkotai susunan stupa. Seluruh bangunan terbuat
dari batu andesit. Ruangan di empat penjuru mata
angin ini saling terhubungkan oleh galeri sudut berpagar langkan.
Berdasarkan temuan pada saat
pemugaran, diperkirakan rancangan awal bangunan hanya berupa candi utama
berkamar tunggal. Candi ini kemudian diperluas dengan menambahkan struktur
tambahan di sekelilingnya. Pintu dibuat untuk menghubungkan bangunan tambahan
dengan candi utama dan menciptakan bangunan candi utama dengan lima ruang.
Ruangan utama di tengah lebih besar dengan atap yang lebih tinggi, dan dapat
dimasuki melalui ruang timur. Kini tidak terdapat patung di kelima ruangan ini.[2].
Akan tetapi berdasarkan adanya landasan atau singgasana batu berukir teratai di ruangan utama, diduga dahulu
dalam ruangan ini terdapat arca bodhisattwa Manjusri atau buddha dari bahan
perunggu yang tingginya mencapai 4 meter. Akan tetapi kini arca itu telah
hilang, mungkin telah dijarah untuk mengambil logamnya sejak berabad-abad lalu.
Kritik impressionis
Menggunakan karya seni atau bangunan sebagai
dasar bagi pembentukan karya keseniannya.
MESJID AGUNG DEMAK (
ISLAM )
Pada pertengahan abad ke-15
penduduk di Jawa belum banyak yang menganut agama Islam dan kebanyakannya
adalah pengikut-pengikut agama Budha, maka oleh mubalik Islam yaitu para Wali
yang sembilan itu di pikirkan mengadakan tempat yang tetap untuk penyiaran dan
penerangan agama. Pada waktu itu surau dan langgar belum terdapat di Jawa. Para
Wali yang kesembilan itu memikirkan jalan keluar bagaimana cara menyiarkan
agama Islam ke seluruh pulau Jawa. Sedangkan masyarakat Jawa pada saat itu
kebanyakan menganut agama Hindu-Budha.
Pada suatu hari para Wali itu
berkumpul membicarakan soal-soal di sekitar penyiaran Islam dan dalam
permusyawaratan itu telah di putuskan akan mendirikan masjid di Gelagah Wangi
Demak, termasuk wilayah Jawa Tengah. Setelah para Wali ke sembilan itu
memikirkan, mereka berencana untuk membangun sebuah Masjid yang berfungsi untuk
menyiarkan agama Islam di Gelagah Wangi dan Masjid tersebut dinamakan Masjid
Demak.
Bangunan masjid itu didirikan
oleh para Wali bersama-sama dalam waktu satu malam. Atap tengahnya di topang
seperti lazimnya, oleh empat tiang kayu raksasa. Salah satu di antaranya tidak
terbuat dari satu batang kayu utuh melaikan dari beberapa balok yang diikat
menjadi satu. Tiang tersebut adalah sumbangan kanjeng Sunan Kalijaga. Rupanya
tiang itu di susun dari potongan-potongan balok yang tersisa dari pekerjaan
Wali-wali lainnya, pada malam pembuatan bangunan itu ia datang terlambat, oleh
karenanya tidak dapat menghasilkan sebuah pekerjaan yang utuh.
Dalam mendirikan tiang-tiang
Masjid Demak tersebut sudah jelas bahwa ada empat wali yang memiliki
tagas-tugas tersendiri. Diantara empat tiang itu yang paling terkenal ialah tiang
yang dibuat oleh Sunan Kalijaga yang berbentu dari kumbulan-kumpulan kayu-kayu
kecil yang diikat menjadi satu sampai menjadi tiang yang besar dan panjang.
Tiang milik Sunan Kalijaga terbuat dari kumpulan-kumpulan kayu kecil karena
pada saat itu Sunan Kalijaga lupa akan tugasnya di saat itu pula Sunan Kalijaga
lupa tidak menyediakan Batang kayu untuk membuat tiang Masjid, maka Sunan
Kalijaga mengumpulkan kepingan-kepingan dan potongan-potongan kayu kecil dan
diikat hingga menjadi tiang yang besar dan kuat.
Soko-soko guru tersebut
panjangnya 32 m dan besar garis menengahnya 1,45 m. Sekarang soko tatal
tersebut, yang tatal aslinya dapat dilihat dengan jelas dari atas masjid, sudah
di palut dan diberi berbingkai kawat supaya sama bentuknya dengan tiang-tiang
yang lain Sangat besar untuk sebuah tiang masjid yang terbuat dari
kumpulan-kumpulan kayu-kayu kecil yang disatukan. Meskipun sekarang sudah
direnovasi dan bentuknya tidak sama dengan aslinya, namun di bagian atas masjid
masih terdapat tiang yang masih asli.
Masjid ini di dirikan di atas
lantai batu merah, berwarna sedikit keputih-putihan, yang masing-masing tidak
lebih besar dari 40 x 20 cm dan tebalnya 15 cm. Bangunan Masjid Demak merupakan
bangunan yang ada di atas lantai batu merah, batu merah tersebut juga berfungsi
sebagai pondasi dari bangunan masjid itu.
Para wali-wali turut mengambil
bagian dalam pembangunan masjid ini. Sultan Demak ke I, Sunan Kalijaga, Sunan
Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Geseng, Sunan Temboja, Sunan Giri, Sunan Kudus
dan Sunan Ampel. Sultan Demak ke I dan Sunan Kalijaga, ialah wali-wali yang
mengambil minat dalam hal ini dan yang memimpin usaha yang mendirikan masjid
itu. Dalam sejarah masjid Demak kabarnya dua wali ini lah yang lebih besar
pengaruhnya dan keramatnya. Dengan secara perincian disebutkan dalam Babat
Demak bagaimana wali-wali ini mengatur pembagian pekerjaannya, sehingga segala
sesuatu dapat berjalan dengan baik dan segala kesukaran dapat disingkirkan
dalam masa-masa permulaan Islam di tanah Jawa itu.
Sunan Kalijaga
Sultan Demak ke I dan Sunan
Kalijaga memiliki peranan yang sangat penting sesuai bagaimana yang dijelaskan
di atas. Dan dapat disebut juga kedua wali tersebut adalah pimpinan dalam
pembangunan masjid Demak pada saat itu. Mereka mempunyai pemikiran yang
sempurna bagaimana cara pembagian pekerjaan sehingga lancar seperti itu.
Soko serambi, yaitu tiang-tiang
yang terdapat pada pendopo masjid, sebanyak delapan buah, menurut cerita
berasal dari istana raja Majapahit, Prabu Brawijaya ke-V, ayah Raden Patah,
Sultan Demak ke-I, yang diangkut sesudah peperangan Majapahit – Demak Bintoro,
dan dijadikan bahan-bahan pendirian Masjid Demak. Dengan adanya soko serambi
atau tiang-tiang bagian luar, menambah nilai keindahan pada bangunan Masjid
Demak.
Arsitektur Masjid Demak
Masjid Demak adalah suatu karya
arsitektur islam yang terlahir dari interaksi antara prinsip – prinsip dasar
islam dengan pemikiran masyarakat ketika itu. Produk Arsitektur Islam
tradisional di Indonesia khususnya Masjid secara nyata telah mampu
mengintegrasikan ajaran Agama Islam dengan budaya setempat ( local genius).
Lokal Genius dapat diartikan sebagai segala unsure yang dimiliki oleh lokalitas
ataupun budaya setempat sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan tertentu,
penyebutan unsur-unsur setempat dengan istilah genius menunjukkan bahwa
unsur-unsur tersebut mempunyai kekuatan atau ketahanan tertentu yang hanya
dimiliki olehnya.
Bentuk Penerapan Dalam Bangunan
Masjid Agung Demak luas
keseluruhannya berukuran 24 x 24 meter persegi, serambi berukuran 31 X 15 meter
dengan panjang keliling 35 X 2,35 meter, tatak rambat ukuran 25 X 3 meter dan
ruang bedug berukuran 3,5 X 2,5 meter. Keseluruhan bangunan ditopang 128 soko,
empat di antaranya soko guru yang menjadi penyangga utama bangunan masjid.
Jumlah tiang penyangga masjid 50 buah, sebanyak 28 penyangga serambi dan 34
tiang penyangga tatak rambat, sedang tiang keliling sebanyak 16 buah. Bentuk
bangunan itu lebih banyak memanfaatkan bahan dari kayu yang banyak ditemukan di
sekitarnya.
Hampir seluruh bangunan mulai
dari atap (genting), kerangka konstruksi, balok loteng, geladag, soko guru, dan
lain–lain terbuat dari kayu jati ukuran besar. Seperti pada arsitektur Jawa
pada umumnya termasuk masjid-masjid di Jawa atapnya bersusun tiga. Bagian ke
tiga atau puncak berbentuk piramidal tersebut disangga oleh empat tiang utama
yang terbuat dari kayu jati atau soko guru yang sangat besar.
Kritik
Arsitektur
Bangunan
kompleks Masjid Agung Demak memiliki beberapa ciri khas diantaranya :
·
Perwujudan
akulturasi budaya
·
Teknik
rancang bangun tanpa paku
·
Pembuatan
soko guru.
Fasilitas :
Parkir, Taman, Gudang, Tempat Penitipan Sepatu/Sandal, Kamar
Mandi/WC, Tempat Wudhu, Sarana Ibadah , Museum Masjid
Agung Demak
Daya Tampung
Jamaah : 1000 orang
Luas keseluruhan bangunan utama Masjid Agung Demak adalah 31 x 31 m2. Di
samping bangunan utama, juga terdapat serambi masjid yang berukuran 31 x 15 m
dengan panjang keliling 35 x 2,35 m; bedug dengan ukuran 3,5 x 2,5 m; dan tatak
rambat dengan ukuran 25 x 3 m.
Serambi masjid berbentuk bangunan yang terbuka. Bangunan masjid ditopang
dengan 128 soko, yang empat di antaranya merupakan soko guru sebagai penyangga
utamanya. Tiang penyangga bangunan masjid berjumlah 50 buah, tiang penyangga
serambi berjumlah 28 buah, dan tiang kelilingnya berjumlah 16 buah.
Masjid ini memiliki keistimewaan berupa arsitektur khas ala Nusantara.
Masjid ini menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama
kaki. Atap limas ini berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang
lebih terbiasa dengan bentuk kubah. Ternyata model atap limas bersusun tiga ini
mempunyai makna, yaitu bahwa seorang beriman perlu menapaki tiga tingkatan
penting dalam keberagamaannya: iman, Islam, dan ihsan. Di samping itu, masjid
ini memiliki lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lain,
yang memiliki makna rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan
haji. Masjid ini memiliki enam buah jendela, yang juga memiliki makna rukun
iman, yaitu percaya kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya,
kitab-kitab-Nya, hari kiamat, dan qadha-qadar-Nya.
Masjid Agung Demak
Kesimpulan
Pada penulisan ini berikut kesimpulan yang kami
ambil :
·
Masjid agung
demak merupakan masjid tertua di indonesia.
·
Masjid agung
demak dibangun oleh sunan kalijaga.
·
Pada atap
bertumpuk tiga melambangkan mukmin, muslim, dan mukhsin.
·
Walaupun
bangunan masjid tetapi tidak menggunakan kubah melain kan menggunakan atap
bertumpuk yang mencirikan arsitektur jawa.
·
Pada tiang penyangga
masjid (sokoguru) terdapat 4 tiang utama yang konon dibuat langsung oleh 4
sunan.
·
Pada
sejarahnya masjid agung demak masih terdapat legenda – legenda yang masih
dipercaya oleh masyarakat hingga saat ini.
0 komentar:
Posting Komentar